
Dalam pidatonya di Pentagon, Rabu (19/03), George W. Bush menegaskan, walaupun banyaknya korban jatuh dan tingginya dana perang, keputusan untuk menyerang Irak adalah benar.
Pidato Bush mengenai Perang Irak hanya pidato sekedarnya. Apa yang disampaikannya bisa dikatakan ‘menyedihkan', seperti halnya dengan Perang Irak itu sendiri, yang dilancarkan Bush dengan nekad tanpa satu alasan yang tepat.
Dengan patuh, Presiden Amerika Serikat ini membacakan kalimat pembenaran langkahnya satu-persatu: Kalimat mengenai strategi jitu untuk mengalahkan ektrimis Islam di Irak, yang menurutnya, akan menimbulkan pembantaian masal, jika Amerika tidak melancarkan serangan.
Putus asa karena tidak menemukan alasan yang legal untuk menyerang Irak, Bush memaparkan cerita mengenai jaringan al Qaida di Irak, yang mempunyai akses langsung kepada sumber minyak, sumber dana yang tidak habis-habis dan senjata pemusnah massal. Bagaikan robot, Bush mendengungkan kata-kata ini selama lima tahun lamanya, untuk membenarkan aksinya di Irak.
Setelah Perang Irak berlangsung lima tahun, sebenarnya Bush memiliki paling tidak satu kesempatan untuk berkata dengan tegas dan jujur, bahwa senjata pemusnah massal tersebut tidak ada. Ini dapat menjadi momen bersejarah di akhir masa jabatannya, momen kebenaran yang sangat langka. Bush seharusnya dapat menorehkan sejarah yang positif, paling tidak untuk beberapa menit. Ia menyia-nyiakan kesempatan ini. Dan ini juga bagus. Karena mengaku satu kekeliruan, hanyalah setengah dari kebenaran itu sendiri.
Bush dan para penasehatnya mengetahui, bahwa di Irak tidak terdapat senjata pemusnah massal dan juga tidak ada jaringan al Qaida, yang melancarkan serangan 11 September. Dan karena presiden AS ini mengetahui, bahwa sebenarnya tidak alasan untuk menyerang Irak, maka ia memerintahkan dinas rahasia dan Collin Powell, yang saat itu menjabat menteri luar negeri, untuk meyakinkan dunia internasional dan PBB akan cerita karangannya ini.
Kebenaran ini mungkin hanya dapat Bush sebutkan , jika saja dalam peringatan lima tahun Perang Irak ini ia mengundurkan diri. Tapi, pertimbangan untuk mengundurkan diri merupakan hal yang asing dalam misi politik Bush, seperti halnya keraguan dan refleksi diri. Dalam pidatonya, tidak dirasakan adanya penyesalan atas tewasnya lebih dari 4.000 tentara AS. Tidak dirasakan adanya rasa bela sungkawa atas jatuhnya korban warga sipil Irak. 50.000 atau 150 ribu jiwa? Tidak seorangpun mengetahui jumlah pastinya.
Bush sendiri tidak ingin mengetahui hal ini. Baginya, ini merupakah harga sebuah perang, untuk membebaskan rakyat Irak dari tirani Saddam, yang juga menuntun Irak pada tepi jurang perang saudara. Hanya dengan penempatan pasukan yang banyak saja, perang saudara ini masih dapat dicegah.
Pidato Perang Irak Bush yang menyedihkan ini merupakan peringatan juga bagi penerusnya di Gedung Putih. Amerika Serikat jangan sampai lagi melancarkan perang seperti ini, kalau tidak ingin kehilangan citranya yang sekarangpun hampir sirna. (yf)
Ralph Sina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar